![]() |
Seks & Tahta, Godaan yang sulit dihindari |
Beberapa hal yang cukup kontroversial diulas Giebels, diantaranya :
1. Soekarno tidak berperan dalam Soempah Pemoeda
Giebels merujuk Abu Hanifah yang menulis Dongeng dari Masa Revolusi
(Tales of a Revolution). Dari dialah, Giebels kumpulkan sebagian besar
informasi seputar Sumpah Pemuda. Menurut Hanifah, Sukarno hanyalah
saksi mata pasif di pertemuan 28 Oktober 1928 yang kondang itu. Dari
riset yang Giebels lakukan, tak ada informasi yang membantah hal
tersebut, kecuali pernyataan dari Sukarno sendiri. Sukarno menyatakan
bahwa dirinya berada di tengah-tengah panggung. Di sini tampak
kepribadiannya yang narcissistic?.
2. Soekarno bertanggung jawab atas suksesnya program Romusha
Ada dua disertasi sejarawan Jepang yang mendasari analisis Giebels
terhadap kasus romusha, yakni War and Peasants: the Japanese
Administration in Java and Its Impact on the Peasantry 1942-1945 karya
Shigeru Sato dan Mobilization and Control: a Study of Social Change in
Rural Java 1942-1945 karya Aiko Kurasawa. Referensi lain adalah
tulisan Tan Malaka tentang pengalamannya di Banten. Di tahun-tahun
pertama penjajahan Jepang, rekrutmen romusha merupakan kebijakan
rasional yang bertujuan memobilisasi jutaan penganggur untuk
merehabilitasi dan membangun Pulau Jawa. Kebijakan ini tak banyak
berbeda dengan rekrutmen tenaga kerja di berbagai negara Barat selama
krisis ekonomi tahun 1930-an. Hatta pun setuju dengan gagasan ini.
Sebab, saat menjadi mahasiswa di Rotterdam, Hatta pernah melihat
kebijakan semacam ini diterapkan di Barat. Masa kerja paksa ini
berlangsung selama 3 bulan saja. Pekerja romusha bekerja di wilayah
masing-masing dan mendapatkan makanan secara cukup. Kondisi romusha ini
berubah pada akhir 1943, ketika Tokyo memutuskan agar Jepang mengambil
sikap bertahan dan mengamankan belahan Jepang dengan bantuan militer
selama waktu tertentu. Pada titik itulah kerja paksa berubah menjadi
perbudakan. Banyak dari mereka yang dikirim jauh dari kampung halaman
selama lebih dari tiga bulan. Sukarno layak dipersalahkan. Dalam
otobiografinya, ia memang menyalahkan diri sendiri karena
mempropagandakan program rekrutmen romusha tersebut. Apakah Hatta juga
bertanggung jawab soal romusha ini? Ya, Hatta, yang menjadi Ketua Badan
Pembantu Prajurit Pekerja (BP3), pun mesti dipersalahkan. Begitu juga
pemerintah setempat Indonesia (kebanyakan kalangan priayi) yang mengeruk
untung atas setiap tenaga kerja pria yang mereka serahkan kepada tim
rekrutmen seraya melindungi keluarga dan teman-teman mereka sendiri.
Begitu juga pemuda yang dilatih oleh pihak militer yang mengejar
orang-orang yang berpotensi jadi romusha sampai ke desa-desa. Di sisi
lain, peran Sukarno dalam skandal romusha tampak dibesar-besarkan.
Misalkan, ada sebuah foto yang begitu terkenal, Sukarno berpose sebagai
romusha ideal. Giebels sarankan Anda berbicara dengan Rosihan Anwar
tentang proses pembuatan foto ini di Bogor. Ia saksi mata peristiwa itu.
Satu hal baru lagi yang Giebels temukan seputar skandal romusha adalah
soal jumlah romusha yang meninggal dunia. Jumlah ini terlalu
dibesar-besarkan. Hal ini merupakan kebijakan yang disengaja oleh
pemerintah Indonesia di era 1950-an. Jumlah korban romusha merupakan
argumen kuat untuk menuntut pampasan perang (war reparation) yang tinggi
dari pemerintah Jepang
3. Menyetorkan ratusan jugun ianfu
Giebels tidak mengerti kenapa informasi ini begitu mengejutkan Anda (yg
dimaksud wartawan TEMPO Seno Joko Suyono, Gita W. Laksmini, dan Leila
S. Chudori). Sukarno menyebut hal ini kepada Cindy Adams. Anda mesti
sadar bahwa ketika itu Sukarno hanyalah seorang pemimpin lokal,
pemimpin setempat. Apabila ia memprotes, besar kemungkinan Sukarno akan
langsung dilempar ke dalam hotel prodeo alias masuk bui. Giebels
berpendapat bahwa Sukarno membuat keputusan yang terbaik yang bisa ia
perbuat ketika itu. Sukarno melindungi para perempuan dari perilaku
serdadu Jepang dan menyediakan kesempatan kerja kepada pekerja seks
komersial profesional di Padang.
Sukarno melihat adanya kesempatan untuk memerdekakan Indonesia dari
penjajahan Jepang ketika Imamura memimpin. Sukarno cukup realistis
dalam hal ini. Sebelumnya, Jepang sudah memberikan kemerdekaan kepada
Filipina dan Burma. Bulan September 1944, deklarasi Koiso menjanjikan
kemerdekaan Indonesia. Lepas dari perasaan utang budi Sukarno kepada
Jepang atas kesempatan tersebut, Sukarno memang menyukai Negara Jepang
dan orang-orangnya. Jepang menjadi negara tujuan kegemarannya.
Sukarno bahkan menikahi dua hostesu Jepang (hostesu pertama bernama
Sakiko, yang bunuh diri pada 30 September 1959 dengan mengiris nadinya
di kediamannya di Menteng karena malu lantaran hostesu kedua, Dewi,
menjadi istri favorit Sukarno)
4. Menolak 2 naskah proklamasi, dari para pemuda yang menolak campur tangan Jepang dan dari Sutan Sjahrir.
Sjahrir menulis satu teks proklamasi kemerdekaan. Giebelsngnya, teks
tersebut lenyap entah ke mana. Ini juga menyulitkan riset Giebels.
Sekalipun demikian, Soebadio Sastrosatomo almarhum sangat yakni bahwa
teks ini pernah ada. Ia mengatakan kepada Giebels bahwa ketika Sjahrir
sempat membuat beberapa perubahan, Sjahrir melakukan perbaikan di
sana-sini menggunakan pena milik Soebadio yang lupa ia kembalikan.
Soebadio ingat bahwa teks tersebut kira-kira terdiri atas 100 kata.
Isinya sangat anti-Jepang dan tidak terlalu kritis terhadap
kolonialisme Belanda. Sukarno dan Laksamana Maeda kemudian memilih teks
versi Hatta. Tapi itu pun menghapus kalimat Hatta yang berbunyi
"Kekuasaan direbut dari tangan para penguasa." Sukarno dan Hatta sadar
bahwa kerja sama dengan pihak Jepang perlu untuk menghindari banjir
darah. Tapi, di saat yang sama, hal tersebut menunjukkan Sjahrir memang
tidak ingin bergabung dengan Sukarno-Hatta. Mereka akhirnya sepakat
bekerja sama ketika di rumah Laksamana Maeda.
Giebels pun menyebutkan Sukarno sebenarnya menginginkan enam orang
mahasiswa radikal agar ikut menandatangani teks proklamasi bersama
dirinya dan Hatta. Tapi para pelajar tersebut menolak karena
beranggapan teks proklamasi versi Hatta merupakan hasil kompromi
Indonesia-Jepang. Sumber utama dari peristiwa tersebut adalah memoar
dari Nishijima yang disusun oleh Anthony Reid dan Oki Akari (editor)
dalam The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs 1942-1945,
di mana terdapat pernyataan Nishijima kepada komite interograsi
Belanda, yang Giebels temukan dalam arsip-arsip organisasi intelijen
KNIL (Nefis) dan memoar Hatta
5. Melakukan negosiasi rahasia dengan Belanda
Sukarno, menurut Giebels, diam-diam mengatur kesepakatan dengan
pemerintah Belanda melalui seorang agen rahasia bernama Bob Koke. Isi
negosiasi adalah Sukarno tidak keberatan apabila pemerintah Belanda
kembali menunjuk seorang gubernur jenderal untuk memerintah Indonesia,
asalkan dia yang menjadi perdana menteri dan asalkan Indonesia bisa
memperoleh 50 persen keuntungan perusahaan-perusahaan Belanda.
Nama Robert Koke pertama kali Giebels baca ketika Giebels menerjemahkan
buku Revolusi dari Nusa Damai (Revolt in Paradise) karya K'tut Tantri
(nama asli perempuan Amerika ini: Muriel Pearson) ke bahasa Belanda. Di
awal 1930-an, Koke dan istrinya membuka hotel pertama di Kuta, Bali,
bernama Hotel Kuta. Peran Koke sebagai agen itu Giebels dengar dari
seorang Australia bernama Timothy Lindsey, yang berkawan dengan K'tut
Tantri, semasa K'tut tinggal di Sydney, dan berharap bukunya yang best
seller itu difilmkan. Timothy Lindsey menulis biografi tentang K'tut
Tantri berjudul Romantika K'tut Tantri dan Indonesia (The Romance of
K'tut Tantri and Indonesia), yang diterbitkan oleh Oxford University
Press pada 1997. Dalam buku ini, Timothy Lindsey mengungkapkan peran
Koke, di halaman 164-165, termasuk pertemuan Bob Koke dengan Sukarno di
halaman 386. Giebels sendiri kurang tahu apakah Timothy Lindsey pernah
bertemu dengan Bob Koke. Di buku ini, Koke menyatakan bahwa Mohammad
Diah beserta keluarga berada bersama dirinya dalam pertemuannya dengan
Sukarno sebagai penerjemah. Mungkin Pak Mohammad Diah dan istrinya bisa
memberikan informasi lebih banyak tentang hal ini.
Sebagai sebuah disertasi, karya Timothy Lindsey itu Giebels anggap
punya otoritas yang bisa diandalkan. Tapi, apabila pertemuan tersebut
betul-betul terjadi dan isinya memang demikian, Giebels tidak
sependapat dengan pernyataan bahwa Sukarno "menjual" Indonesia. Sebab,
Sukarno sendiri adalah laki-laki yang gemar omong kosong. Kemungkinan
negosiasi ini hanyalah gagasan sekilas Sukarno untuk mencari tahu
bagaimana musuh bereaksi?.
6. Sangat gandrung teosofi
Konon, Sukarno orang yang sangat terpengaruh teosofi. Pemimpin-pemimpin
pergerakan nasional Indonesia sendiri seperti tokoh Boedi Oetomo, H.
Agoes Salim, Tjipto Mangoenkoesumo, adalah penganut teosofi. Sementara
itu, di masa remajanya, Sukarno sering bergelut di perpustakaan teosofi
karena sang ayah merupakan pengikut teosofi.
Informasi tentang latar belakang teosofis pada diri ayah Sukarno
Giebels peroleh dari studi mendalam tentang gerakan teosofi di
Indonesia dalam buku The Politics of Divine Wisdom 1875-1947
karya Herman de Tollenaere (Nijmegen, 1996). Giebels kira buku ini pun
layak untuk diresensi TEMPO. Anda sebaiknya langsung menghubungi
pengarangnya. Giebels yakin, ia pasti antusias dan segera mengirimkan
contoh bukunya kepada Anda. Sesungguhnya Sukarno tidaklah terlalu taat
menjalani kepercayaan yang diturunkan dari ayahnya. Sejak ia menetapkan
Demokrasi Terpimpin pada 1959, Sukarno melarang Masyarakat Teosofi
Indonesia (Theosophical Society of Indonesia) dengan menggunakan dekrit
presiden (bersama dengan Freemasonry dan musik rock 'n' roll).
7. Kencan Marylin Monroe?
Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno tak bisa
menyembunyikan kesukaannya terhadap wanita. “Bukan suatu dosa atau tidak
sopan kalau seseorang mengagumi seseorang perempuan cantik”, katanya .
“Aku hanya seorang pecinta kecantikan yang luar biasa”, kata Soekarno menangkis cemooh orang ketika dia menemui aktris Gina Lollobrigida waktu berkunjung ke Italia bulan Oktober 1964.
Pertemuan
Marylin dan Soekarno bisa terwujud atas jasa Joshua Logan, sutradara
film “Bus Stop” yang diperani oleh Marilyn. Waktu itu dia sedang sibuk
syuting ketika Soekarno berada dan bertemu sekitar 200 pekerja film di
sana.
Malam hari Soekarno di Hollywood, Eric Allen Johnston, Presiden Motion Picture Association of America (MPAA) mengadakan pesta untuk menghormati Soekarno dan rombongannya di the Beverly Hills Hotel, Hollywood. Sebenarnya Marilyn tak dijadualkan datang ke pesta itu apalagi diundang. Tetapi saat syuitng film “Bus Stop” dia diajak Joshua Logan. “Saya ingin kau menemui sahabat saya nanti malam”, bujuk Logan kepada Marilyn. Tanpa ragu Marylin mengiyakan permintaan Logan. Padahal esok harinya dia akan berulang tahun ke 30 dan harus terbang malam itu juga ke New York untuk suatu acara.
Akhirnya Marilyn datang juga ke pesta yang khusus diadakan untuk menghormati Soekarno itu. Dia mengenakan gaun gelap berleher panjang. Seketika kehadirannya membuat atmosfir pesta lebih hidup. Bahkan beberapa aktor ternama sudah hadir terlebih dahulu, termasuk Gregory Peck, George Murphy (kelak menjadi senator) dan Ronald Reagan (25 tahun kemudian jadi presiden AS).
Kehadiran
Marilyn benar-benar memberi oksigen dalam pesta itu, serta mencuri
perhatian hampir semua orang. Soekarno segera menghampiri saat
mengetahui kedatangannya. Mereka bertemu dalam suasana akrab hampir
selama 45 menit. Layaknya seperti dua sahabat yang lama yang tak
bertemu. Momen itu tak disia-siakan oleh para fotografer Amerika dan
Indonesia.
Marilyn dengan basa-basi mengatakan bahwa dia menyesal tak diundang ke
pesta itu. Namun Soekarno tak peduli dia diundang atau tidak, asalkan
sudah bertemu dengannya. “Tujuan saya datang ke Amerika antara lain
untuk menemuinya (Marilyn)”, kata Soekarno, sedikit diplomatis.
Pertemuan Marilyn dengan Soekarno meninggalkan beberapa kisah menarik
yang berkembang melampaui batas-batas fakta sebenarnya. Misalnya, dalam
buku Goddess The Secret Life of Marilyn Monroe, yang ditulis Anthony
Summers. Dalam buku itu ada bagian yang menceritakan tentang affair
kedua lagenda itu, yang menurut saya sangat sulit dikonfirmasikan
apalagi untuk dibenarkan.
Misalnya saja pengakuan sutradara Joseph Logan dalam buku itu. “Saya pikir mereka berdua melakukan pertemuan lanjutan setelah pesta itu”, kenang Logan yang memperkenalkan Marilyn kepada Soekarno.

0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.